<meta name='google-adsense-platform-account' content='ca-host-pub-1556223355139109'/> <meta name='google-adsense-platform-domain' content='blogspot.com'/> <!-- --><style type="text/css">@import url(https://www.blogger.com/static/v1/v-css/navbar/3334278262-classic.css); div.b-mobile {display:none;} </style> </head><body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5515158144657271266\x26blogName\x3d%22FOSMAKE%22\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://fosmake.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://fosmake.blogspot.com/\x26vt\x3d-290706833722814696', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
1 comments | Monday, June 23, 2008

Oleh : A. Adib Amrullah Muzani
( A Salute To Binti Hasyim )

Kesedihan adalah makhluk. karenanya ia bisa kita sapa dan kita ajak berbicara untuk menurut kepada kita. Menyuruhnya bukan berarti mengusirnya atau membuat dia tidak ada melainkan sekedar agar kesedihan kita itu tidak sampai dirasakan oleh orang lain akibatnya.

Banyak sekali orang yang tidak sukses dalam menyimpan kesedihannya, Atau malah tak sedikit juga yang justru menjajakannya bahkan menawarkanya kepada siapa saja. Cara ini betul betul berbahaya karena orang semacam ini akan segera menjadi semacam virus yang karena "kedermawanannya" terhadap kesedihan dan pemanjaan yang berlebihan terhadap deritanya maka tak jarang pula berbagai atribut telah di sandangnya kemudian keberadaanya akan dianggap sebagai sumber persoaalan dan pribadinya akan dianggap semacam kuman yang menjijikan.

Memperlihatkan suasana hati kita secara terbuka kepada orang lain adalah suatu kemanjaan. " hari ini aku lagi cape habis ngurus minhah tapi tidak sukses maka kamu jangan mengetuk pintu dengan keras dan jangan tertawa di depanku dan jangan memancing emosiku karena aku lagi sangat sensisitf " sergahmu misalnya.

Pada akhirnya permohonanmu itu akan menjadi semacam kebodohan belaka dan terlihat sangat janggal. Kenapa ? karena apapun suasana hatimu sekarang matahari akan tetap terbit di pagi hari dan bulan akan muncul di malam hari dan manusiapun masih tetap sama masih seperti biasanya masih membutuhkan makan dan minum , tak perduli dengan suasana hatimu, maka jika engkau kedapatan sedang memanjakan deritamu, memelas kepada orang orang di sekitarmu sesungguhnya engkau sedang menyiksa banyak orang.

Derita yang engkau pertontonkan adalah sejarah hitam bagi hidupmu. cobalah kau pahami, setiap orang punya beban dan kesedihannya masing masing, maka untuk memahami bebanmu orang boleh tidak menghiraukanmu.

Dan jika masih ada orang yang masih menyediakan waktu untuk menghiburmu bukan berarti orang itu lebih bahagia darimu tapi karena ia benar benar telah banting tulang untuk itu. coba kau bayangkan ia harus menekan deritanya sedemikian rupa demi untuk menghiburmu dan menuruti permintaanmu. ia sebenarnya sama sepertimu sama manusianya dan juga sama penuh persoalannya tapi karena sedikit sekali ia memanjakannya si persoalan itupun kehilangan "gairah"nya dan menjadi sesuatu yang tersingkirkan dan akhirnya pergi dengan tangan hampa.

Karena itulah orang semacam itu terlihat sangat kuat, tegar, tenang dan terjaga. engkau tak akan pernah bisa menebak apakah ia sedang berduka atau gembira. karena jika tengah bergembira ia tak pernah terlihat berbunga bunga, jika tengah bersedihpun ia tak pernah kelihatan mengkerut wajahnya atau bahkan tak menyapa orang di sekitarnya, kebisingan tak pernah membuatnya kaget, kekacauan tak pernah membuatnya panik.

Maka kepadanyalah orang orang akan terpukau dan bangga "ternyata masih ada orang sepert itu" gumam mereka. kepadanyalah orang akan berkeluh kesah dan bertanya, kehadirannya menjadi sesuatu yang dinanti, kata katanya adalah hiburan dan pancaran pribadinya mendatangkan senyuman dan kegembiraan.

Lalu andapun akan berpikir bahwa orang ini adalah orang suci? tidak, ia masih manusia biasa seperti kita sama sama butuh makan dan minum bedanya cuma ia malu membebani orang di sekitarnya dengan deritanya, ia malu membuat orang lain tersiksa karena deritanya.

Karena ia paham betul beratnya menanggung penderitaan. maka penderitaan orang lain akan terasa sebagai deritanya, berpikir tentang kesedihan orang lain jauh lebih menyita waktunya, ia sungguh malu dan enggan merepotkan dunia dan segala isinya dengan urusan dan kepentingannya sendiri.


0 comments

Oleh: Zen Dipo

Tentang hari esok, semua pasti berharap akan lebih baik. Apalagi bagi seorang mahasiswa yang selalu dihimpit oleh waktu dalam lingkup akademisi. Hal inilah yang mungkin mengalasi sikap responsif pihak KBRI sehingga mencanangkan program Lokakarya beberapa hari mendatang. Maraknya dunia ke-organisasian yang mengisi dan mewarnai dunia Masisir sementara ini bukanlah tanpa alasan. Maka, bukanlah asumsi keliru jika al-Azhar, dengan sistem yang ada selama ini, dianggap sebagai proyeksi pesantren-pesantern salaf Indonesia. Sistem admistrasi yang serba manual, tentafif pelajaran yang ‘terpisah’ dari absensi dan kedisiplinan yang teracuhkan membentuk sebuah opini pada mayoritas Masisir bahwa ‘kesadaran’ adalah acuan awal yang akan menghantarkan mereka menuju kesuksesan. Namun di sisi lain, kesuksesan al-Azhar dalam membentuk kader-kader ulama potensial-kharismatik, meninggalkan atsar mitologis di benak khalayak. Persepsi semacam inilah yang mungkin memberi tantangan, bukan hanya kepada Masisir, namun juga menarik perhatian pihak KBRI untuk terus berusaha menemukan program-program solutif demi kesuksesan masisir sebagai ‘anak asuh’ meraka.

Sekilas mengorek lapukan sejarah; seorang cendekiawan muslim yang merupakan anak didik al-Azhar telah berulang kali mencuatkan ide-ide progresif dalam rangka modernisasi sistem pendidikan. Meskipun dunia revolusi praktis telah memberikan kontribusi besar dalam perjalanan intelektual Muhamad Abduh, namun apa yang dikenalkan oleh Afghani itu cukup menghambat karir Abduh kemudian. Hal ini pulalah yang mungkin menjadi salah satu unsur mengapa ide-ide reformis Abduh harus tertolak di hadapan ‘Masyayikh al-Azhar’ ketika itu. Atau mungkin asumsi akan “mistisisme” yang terkandung diantara celah gedung tua al-Azhar bukanlah anggapan belaka?

Semangat progresivitas yang ditinggalkan Abduh melalui karya-karya beliau tak pelak telah meliputi hati Masisir yang, boleh dikata, merupakan anak zaman modern. Sebagai anak modernitas yang hidup di tengah-tengah peperangan ideologi, pemikiran-pemikiran progresif-reformis dirasa sangat diperlukan seiring dengan semakin melambungnya arus globalisasi. Hal ini tidaklah kondusif selama Masisir masih terjebak dalam angan mistisisme atau atsar mitologis. Bentuk nyata sebagai akibat dari akar stagnansi tersebut terepresentasikan dalam macam tipologi Masisir; muqorroris sentris dan aktifis habis. Pembagian dikotomis ini adalah realita nyata yang tak mungkin dipungkiri dalam dunia Masisir. Walaupun ada golongan ketiga, yakni mahasiswa prestatif dan sukses berorganisasi, namun toh masih dalam skala minor dan belum sanggup menjadi komunitas ideal yang mewarnai dunia Masisir. Adalah sebuah tantangan bahwa organisasi-organisasi yang ada harus mampu menjembatani Masisir sebagai mahasiswa yang peduli akademis, dan di lain sisi mereka adalah komunitas masyarakat yang tidak akan terlepas dari norma serta struktur sosial. Sehingga selain membantu membentuk mahasiswa yang prestatif dan potensial, organisasi juga ikut berperan menjadi alat komunikasi antara mahasiswa dan wacana kekinian masyarakat.

Sayang sekali bahwa wacana “kualitas” masih saja dibarengkan dengan “prestatif” sebagai rival. Dan sebaliknya, yaitu akademis yang masih begitu saja menjadi tolak ukur kualitas keilmuan mahasiswa atau kaum pelajar sementara ini. Dari analisis sederhana inilah kiranya lahir sebuah pertanyaan kritis yang berkait dengan epistemologi organisasi-organisasi Masisir yang merupakan organisasi ke-mahasiswa-an. Dimanakah posisi serta peran organisasi-organisasi sebenarnya?

Program akademis yang disematkan pada agenda ‘Lokakarya bulan April’ mendatang bukan semata rencana solutif yang harus diterima begitu saja. Namun, demi eksistensi organisasi yang menjembatani mahasiswa dengan masyarakat agenda tersebut harus diapresiasi secara kritis.

Ironis, bahwa program-program organisasi Masisir masih berorientasikan pada sukses periodik demi kontinuitas organisasi itu sendiri. Hal ini juga sangat mungkin berujung pada harapan ekonomis yang lahir dari asumsi negatif-realistis; jabatan struktural menjanjikan sebuah lahan bisnis. Maraknya program BimBel menjelang ujian kampus-jika kita telaah secara kritis- merupakan sebuah pengakuan umum akan lemahnya fungsional organisasi sebagai wadah mahasiswa. Kesadaran ber’oposisi’ yang lahir dari respon adaptatif atas sistem pendidikan al-Azhar sudah semestinya dimiliki dan terimplementasikan dalam wujud nyata program. Sikap moderat sudah selayaknya dimiliki sehingga organisasi benar sebuah jembatan plural yang peduli akademis tanpa meng’anak tiri’kan kualitas intelektual anggota (Masisir).

Kritik-apologetis yang dilontarkan dua kubu dikontomis Masisir, muqorroris sentries dan aktivis habis, telah memunculkan benih kontra-asumsif yang mungkin digelayuti sikap egoisme masing-masing keduanya.Sangat disayangkan bahwa realita ini tidak ditanggapi oleh organisasi-organisasi Masisir sehingga berakibat terhadap stagnansi- kalau enggan disebut merosot- gerak laju intelektualitas Masisir.

Agenda lokakarya bulan April mendatang, yang di-isu-kan bernada akademis menjadikan sebuah tantangan tersendiri bagi eksistensi organisasi-organisasi otonom Masisir. Peran signifikan, sebagai penghubung antara mahasiswa sekaligus representasi entitas masyarakat yang melekat pada sebuah organisasi, sangat mungkin terpangkas semangat akademis-sentris. Muncul-kembangnya profil-profil intelektual-tradisional adalah sebuah keniscayaan yang memicu pada discomunication antara kaum intelektual dengan masyarakat. Sehingga gairah integralitas yang telah dicontohkan para cendekiawan klasik atau pun kontemporer akan terkikis oleh ketidaksanggupan adaptasi mereka kemudian. Adalah Antonio Gramci, seorang intelektualis prancis, yang dengan semangat modernisme telah mematok ‘proposional dan profesionalitas’ sebagai syarat terbentuknya kaum intelektual organik. Segolongan intelektual yang memiliki integralitas tinggi dan mampu berperan aktiv di tengah tumbuh kembangnya masyarakat.

Dalam dinamika kekinian, haruskah kita terus terkukung dalam angan mistisisme dan atsar mitologis yang tidak pernah melahirkan semangat intelektual progresif? Atau, Masisir pada masa mendatang akan menjadi segolongan kaum konservatif -dalam ferm kekinian- yang senantiasa memberi sekat antara wacana dan konteks kemasyarakatan?


1 comments

Oleh: Ronny el-Zahro

Halaqah ‘Usyâriah
Al-Mîzân Study Club
Minggu, 02 Maret 2008

Pengantar Deskriptif ;
Filsafat Kontemporer di Barat dan Islam

Membincang terma filsafat, di dunia Islam, baru berucap “A”, bahkan belum apa-apa statement negatif —istilah kafir, zindiq dan musyrik— merupakan konsekuensi logis yang secara sadar harus kita terima dengan penuh lapang dada. Mungkin tidak semua-selamanya, namun paradigma ini masih mayoritas sampai sekarang. Apalagi, jika sudah masuk dan bersentuhan dengan terma-terma asing (baca;Barat), entahlah ada anggapan apa? Darah menetes mungkin salah satu solusi.

Di dunia lain, Barat, filsafat adalah menu utama masyarakat, nutrisi penting dalam menentukan langkah maju. Hal ini lebih dikarenakan, paradigma berfikir mereka terbuka terhadap peradaban luar, dengan pra-syarat rasional khususnya filsafat. Oleh karena itu, di sana filsafat mampu tumbuh-berkembang dengan suburnya. Perkembangan ini bisa kita lihat dengan kasat mata; menjamurnya aliran-aliran filsafat: strukturaslisme, post-strukturalisme, semiotika, feminis, modernitas sampai post-modernitas. Selain itu, kemajuan teknologi, stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sudah merupakan bukti konkrit. Terlepas dari sisi spiritual bagaimana?


Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan filsafat kontemporer di Barat dan Islam. Memaparkan secara deskriptif beberapa aliran/sekte filsafat dan filsuf-filsuf, serta pemikirannya. Bagaimana imbas hal ini terhadap Islam di era kontemporer, masa kebangkitan? Dengan harapan deskripsi sederhana ini dijadikan sebagai motivasi ke arah pembaharuan, sebuah proses yang terus berjalan dan berjalan …

Filsafat Barat di Era Modern-Kontemporer

Apakah itu filsafat? Apa batasan modern-kontemporer? Pertanyaan sederhana ini pasti muncul serta-merta, ketika membincang subterma ini. Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’ adalah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi, cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Sedang kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.

Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu.

Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun, penulis hanya memaparkan tiga aliran dari semuanya.

Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang.

Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis.

Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau).
Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Seolah orang yang sedang kesurupan. Nietzche mengkritik habis hampir semua relief-relief kebudayaan barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama bertahun-tahun orang bersikap sinis terhadap tulisan-tulisan Nietzche.
Dengan menawarkan beberapa konsep idealisme; nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermenech dan kembalinya segala sesuatu, bagi Nietzche, prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis. Dalam tataran skema menurut Nietzche, segala sesuatu-baik dalam bentuk redaksionisme suatu esensi maupun teleologi¬¬- tujuan akan bermuatkan sebentuk idealisme.

Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini.

Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar sistem dan kehidupan.

Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentah-mentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya.

Langkah praktisi yang mereka tempuh adalah dengan merumuskan unsur-unsur normatif, seperti: teori bahasa, dengan penuh harap terbentuknya komunikasi yang standar minimal. Maka, komunikasi harus tak terdistorsi dan secara bebas diungkapkan, sehingga dapat mencapai kesepakatan; kesepakatan yang mensyaratkan “pengenalan antarsubjektif”. Oleh sebab itu, bila komunikasi secara sistematis tidak berhasil, maka yang terjadi adalah bentuk bahasa yang sakit.

Selanjutnya, yakni evolusi masyarakat yang dimaksudkan untuk memberikan landasan suatu kerangka normatif, demi realisasi minat emansipatoris. Tidak absah suatu negara ketika tidak mampu melindungi rakyatnya dari krisis; ekonomi, politik, dan nonsens dalam men-suport atau memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Obsesi kebebasan, kemanusian dan solusi problematika atas kapitalisme modern adalah keniscayaan. Hak-hak manusia di suatu negara harus lebih diutamakan, selain itu perjuangan untuk menyelamatkan manusia agar mereka tak tersingkir di mata hukum. Hal ini dengan konsekuensi pra-syarat bahwa setiap individu harus berkewarganegaraan, karena hilangnya kewarganegaraan berarti hilang status legalitas, status legalitas terhadap semua hak dan kewajiban.

Post-Marxisme juga sangat melaknat dan membuang jauh ke tong sampah sistem pemerintahan yang totalitarianisme, apalagi sampai despostis. Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.

Modenisasi Pemikiran Arab-Islam

Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, dengan corak gnostik-nya sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.

Masa gelap, masa yang melelahkan. Bak se-ekor Harimau yang terjaga dari pulas, Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.

Disisi yang lain, datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam. Kedatangan kolonialis-imperalis disambut dengan mesra oleh Muhammad Ali Pasha seperti kala itu untuk bekerja sama, khususnya dalam perdagangan. Merasa kurang, guna membangun negaranya, maka pemerintah Mesir menetapkan kebijakan untuk mengutus delegasi ke Perancis untuk mempelajari kemajuan Barat, kemudian ditransformasikan ke Mesir. Rihlah Ilmiah inilah yang akhirya menjadi titik tolak kemajuan Arab-Islam, khususnya Mesir. Baik dari segi fisik (bangunan dan tata kota), maupun keamanan, ekonomi dan keilmuan.

Rifa’at at-Tahthawi adalah salah satu delegasi yang dikirim ke Perancis. Sepulang dari Paris, dengan bekal yang diperoleh, Rifa’at berdiri mengusung bendera modernisasi di tanah seribu menara. Ini diawali dengan penerjemahan secara gencar literature-literatur barat yang berpusat di madrasah Alsin . Selain itu, rifa’at juga membuka sekolah-sekolah dengan system baru, tanpa biaya alias gratis. Terobosan baru pun ia lakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi para perempuan (Madaris li al-banat). Tak lama kemudian jumlah sekolah atau madrasah meningkat secara drastis di seluruh saentro Mesir, gairah intelektual meningkat. Hasil praktisi ini digambarkan secara apik lewat bukunya “ al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin” sebagai pegangan generasi muda Mesir dalam menekuni dunia pendidikan. Salih majdi, salah satu anak didik rifa’at, berasumsi bahwa kitab ini secara resmi beredar setelah wafatnya rifa’at yang kemudian dilanjutkan oleh sang putra mahkota, Ali Fahmi Rifa’at. Namun, realita membuktikan bahwa karya tersebut terbit satu bulan sebelum wafatnya rifa’at.


Tidak berpaut jenjang waktu lama, muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Duet maut antara guru dan murid ini melahirkan pendapat pro-kontra di kalangan khalayak. Meski demikian, pegaruh mereka sudah terlampau luas dan semarak. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan. Dengan piranti modern dan prasyarat rasional, mereka mengangankan sebuah agama/tradisi yang hidup dan relevan seiring dengan kontinuitas nan selalu mengirinya, (I’adah al-bunyat min jadid). Tidak senada dengan perspektif mayoritas ulama (kaum tradisionalis) yang lebih mendambakan “pernyataan ulang” atas kebesaran tradisi masa lampau. Menurut kaum tradisionalis, bahwa semua permasalahan dan segala problematika yang ada telah dibahas secara tuntas oleh para pendahulu.

Selanjutnya, secara umum pemikiran Arab-Islam dapat digolongkan dalam dua mainstrem besar. Yakni, mereka yang pro-barat dan mereka yang kontra/ antipati terhadap metodologi Barat dimana yang pertama berwarnakan dua tipologi khusus, sementara untuk yang kedua hanya ada satu tipologi yang disebut ideal-totalistik.

Pertama, pro-Barat. Pada tataran ini, reformis-dekonstruktif adalah sebuah tipologi pemikiran yang merupakan presentasi nyata dari mereka yang terinklinasi secara sadar oleh filsafat barat sebagai kerangka metodologi pendekatan mereka. Cendekiawan semisal Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zaid termasuk dalam golongan ini dimana filsafat post-strukturalis Barat merupakan pangkal kembalinya pemikiran mereka. Selain itu, reformis-rekonstruktif juga acapkali di kategorikan dalam golongan ini sebagai akibat dari kecenderungan metodologis mereka terhadap Barat. Namun di satu sisi lain, masih menjadikan turas sebagai pijakan pergerakan mereka dalam modernisasi. Rifa’at al-Tohthowy, al-Afghani, Muhammad Abduh, dan al-kawakibi adalah sebagian dari mereka yang mewakili tipologi pemikiran ini.

Kedua, kontra/anti Barat. “al-awdah ila al-manba’” merupakan jargon yang mereka serukan sebagai acuan pergerakan mereka. Bahwa Islam adalah agama, budaya sekaligus peradaban yang telah mencakup tatanan social, politik dan ekonomi telah mengantar mereka untuk mencapai kegemilangan yang tempoe doeloe sempat ditorehkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal inilah yang memberikan asumsi bahwa barat tak ubahnya momok, dan apa yang telah digapai oleh modernitas pun (sains dan teknologi) tak lupa mereka nisbatkan sebagai hasil “masa gemilang” yang kemudian melegitimasi kebenaran mereka menerima menerima modernitas. Para cendekiawan yang memiliki kecenderungan ideal-totalistik ini dapat kita temukan dalam diri M. Ghozali, Sayyid Qutb, Anwar Jundi, serta Said Hawwa yang berorientasikan pada gerakan islam politik. Isu kontemporer ‘Trans-nasionalisme’ juga mungkin digolongkan pada aliran ini.







Epilog.

Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan, masuk dalam ranah untouchable.

Ironis, jika pertarungan ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.

Makalah ditulis oleh:
Ronny Giat Brahmanto

0 comments

Harus berapa lama?

Memang hari liburan adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Tidak hanya pelajar dan pegawai yang menantikan hari keramat ini, bahkan pedagang pun menantikan hari libur untuk menambah keuntungan yang tidak diperoleh pada hari-hari biasa. Liburan memiliki nilai tersendiri bagi banyak orang; pergi ke pasar untuk belanja, jalan-jalan, berekreasi, atau pun sekedar iseng mondar-mandir melepas penat. Bukan hanya para pedagang, pengelola pariwisata pun mampu mengais laba tidak seperti hari- hari biasanya. Itu adalah salah satu arti ‘liburan’ bagi pedagang, pengelola pariwisata, para PNS, dan pegawai lainnya. Sedangkan bagi kita, komunitas mahasiswa, apakah arti ‘liburan’ itu sendiri?

Penulis tidak perlu mengungkapkan arti liburan bagi mahasiswa, karena teman-teman semua tentu lebih tahu arti liburan. Penulis percaya bahwa teman-teman sudah mengisi hari libur dengan rasa puas yang luar biasa; mulai dari mengikuti kajian yang bejibun, ngenet selama 25 jam, nonton film berjuz-juz, nge-game sampai pagi, ada juga yang tidur dan bangun hanya ketika laper plus pengen beol. Ini adalah liburan ala Masisir yang penulis kenal. Namun, bukan berarti penulis melarang aktifitas teman-teman. Sekedar ingin mengingatkan pada teman-teman akan pentingnya hiburan dalam liburan, yang kita cari dari hiburan dalam liburan adalah untuk mendinginkan otak yang panas setelah diamanati untuk menghafal dan memahami diktat kuliah. Tugas yang diemban ini, bagi mayoritas Masisir, memang cukup berat sehingga diperlukan semacam hiburan tuk sekedar me-refresh otak kita.

Benar bahwa experience is the best teacher bagi kita, penulis punya sedikit pengalaman yang mungkin bisa diambil sedikit hikmanya. Ini bermula dari rihlah tahunan Bu’ust ke Alexandria yang mana peserta terdiri dari berbagai negara; mulai dari mereka yang berkulit putih sampai kulit hitam. Di situ penulis bertemu dengan pelajar India, kita kenalan dan berbincang-bincang lumayan lama. Disela perbincangan kemudian dia berbicara; “memang kita kesini untuk rihlah, jadi tidak untuk bersedih dan merenung. Kita kesini untuk menghilangkan pusing setelah kita ujian agar otak kita merasa fresh. Dan kita bisa belajar lagi selepas ini. Maka, senyum dan tertawalah! Buatlah dirimu senang dan sepuas mungkin, seakan-akan tidak ada hari esok. Namun, bila kita sudah kembali ke Cairo maka belajar dan hafalkanlah yang bisa kamu hafal hingga kamu mendapat ilmu sebanyak mungkin. Ini adalah wasiat guruku di India sana.”

Dari cerita di atas kita bisa pungut hikmahnya, yaitu bahwa kita bebas meng-ekspresikan masa liburan kita. Yang penting adalah teman-teman merasa nyaman, suka dan dengan hati yang ikhlas melakukannya, tidak dengan hati yang dongkol. Tapi, yang terpenting bagi kita yakni guna merefreshkan otak supaya bisa kembali bersemangat dalam mencari ilmu. Penulis berharap bahwa liburan kali ini benar-benar mampu mengusir penat, stress dan rasa pusing, sehingga mampu kembali mengobarkan semangat tholabul ‘ilmi selain guna menyongsong ujian term 2 yang kian mendekat.

Dengan ditandai adanya ujian safawi bagi tingkat tiga dan empat, serta dengan turunnya minhah yang berhenti selama 5 bulan. Itu berarti bahwa kita telah memasuki jenjang term ke-2 . Dan secara tidak langsung memang pihak al-Azhar menurunkan minhah-nya adalah supaya kita bisa membeli kitab muqorror yang mana mata pelajaran dalam term kedua lebih banyak ketimbang mata pelajaran pada term pertama. Secara otomatis kitab atau diktat lebih banyak dan kita harus mengeluarkan uang lebih banyak juga.


Penulis mengingatkan sekali lagi bahwa kita sudah berada di Cairo, tidak lagi berada di Alexandria atau tempat berhibur manapun. Maka dari itu penulis berharap agar teman-teman tidak terlalu larut dalam masa liburan. Sekarang siapkan tubuhmu, otakmu dan atur jadwal belajarmu serapi mungkin hingga kamu bisa meraih ke-najah-an dalam tahun ini. Jangan lupa tujuan kalian berangkat ke Negeri yang terkenal dengan seribu menara ini.

Anda semua pasti tahu tentang siapakah Fahri dan bagaimana profilnya. Perlu anda ketahui bahwa masyarakat Indonesia telah mengetahui banyak tentang sosok seorang azhary dengan membaca novel AAC (Ayat-ayat Cinta) ataupun melihat filmnya, dan mereka beranggapan bahwa kita semua tak ubahnya seorang Fahri yang begitu sempurna. Adalah tantangan bagi kita semua untuk mampu mewujudkan anggapan yang bernadakan harapan tersebut. Hal yang sama pun dilakukan oleh Imam Ghozali ketika orang-orang beranggapan bahwa beliau melaksanakan ‘sholat malam’ sepanjang nishfu al-lail, tapi sebenarnya Imam Ghozali hanya sholat malam selama seperempat malam. Terdorong untuk mewujudkan anggapan masyarakat, akhirnya al-Ghozali pun melaksanakan ‘sholat malam’ penuh sepanjang paruh malam.

Dan yang menjadi pertanyaan adalah: apa yang anda lakukan untuk membenarkan anggapan masyarakat kita di Indonesia?