<meta name='google-adsense-platform-account' content='ca-host-pub-1556223355139109'/> <meta name='google-adsense-platform-domain' content='blogspot.com'/> <!-- --><style type="text/css">@import url(https://www.blogger.com/static/v1/v-css/navbar/3334278262-classic.css); div.b-mobile {display:none;} </style> </head><body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5515158144657271266\x26blogName\x3d%22FOSMAKE%22\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://fosmake.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://fosmake.blogspot.com/\x26vt\x3d-290706833722814696', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
0 comments | Monday, June 23, 2008

Oleh: Zen Dipo

Tentang hari esok, semua pasti berharap akan lebih baik. Apalagi bagi seorang mahasiswa yang selalu dihimpit oleh waktu dalam lingkup akademisi. Hal inilah yang mungkin mengalasi sikap responsif pihak KBRI sehingga mencanangkan program Lokakarya beberapa hari mendatang. Maraknya dunia ke-organisasian yang mengisi dan mewarnai dunia Masisir sementara ini bukanlah tanpa alasan. Maka, bukanlah asumsi keliru jika al-Azhar, dengan sistem yang ada selama ini, dianggap sebagai proyeksi pesantren-pesantern salaf Indonesia. Sistem admistrasi yang serba manual, tentafif pelajaran yang ‘terpisah’ dari absensi dan kedisiplinan yang teracuhkan membentuk sebuah opini pada mayoritas Masisir bahwa ‘kesadaran’ adalah acuan awal yang akan menghantarkan mereka menuju kesuksesan. Namun di sisi lain, kesuksesan al-Azhar dalam membentuk kader-kader ulama potensial-kharismatik, meninggalkan atsar mitologis di benak khalayak. Persepsi semacam inilah yang mungkin memberi tantangan, bukan hanya kepada Masisir, namun juga menarik perhatian pihak KBRI untuk terus berusaha menemukan program-program solutif demi kesuksesan masisir sebagai ‘anak asuh’ meraka.

Sekilas mengorek lapukan sejarah; seorang cendekiawan muslim yang merupakan anak didik al-Azhar telah berulang kali mencuatkan ide-ide progresif dalam rangka modernisasi sistem pendidikan. Meskipun dunia revolusi praktis telah memberikan kontribusi besar dalam perjalanan intelektual Muhamad Abduh, namun apa yang dikenalkan oleh Afghani itu cukup menghambat karir Abduh kemudian. Hal ini pulalah yang mungkin menjadi salah satu unsur mengapa ide-ide reformis Abduh harus tertolak di hadapan ‘Masyayikh al-Azhar’ ketika itu. Atau mungkin asumsi akan “mistisisme” yang terkandung diantara celah gedung tua al-Azhar bukanlah anggapan belaka?

Semangat progresivitas yang ditinggalkan Abduh melalui karya-karya beliau tak pelak telah meliputi hati Masisir yang, boleh dikata, merupakan anak zaman modern. Sebagai anak modernitas yang hidup di tengah-tengah peperangan ideologi, pemikiran-pemikiran progresif-reformis dirasa sangat diperlukan seiring dengan semakin melambungnya arus globalisasi. Hal ini tidaklah kondusif selama Masisir masih terjebak dalam angan mistisisme atau atsar mitologis. Bentuk nyata sebagai akibat dari akar stagnansi tersebut terepresentasikan dalam macam tipologi Masisir; muqorroris sentris dan aktifis habis. Pembagian dikotomis ini adalah realita nyata yang tak mungkin dipungkiri dalam dunia Masisir. Walaupun ada golongan ketiga, yakni mahasiswa prestatif dan sukses berorganisasi, namun toh masih dalam skala minor dan belum sanggup menjadi komunitas ideal yang mewarnai dunia Masisir. Adalah sebuah tantangan bahwa organisasi-organisasi yang ada harus mampu menjembatani Masisir sebagai mahasiswa yang peduli akademis, dan di lain sisi mereka adalah komunitas masyarakat yang tidak akan terlepas dari norma serta struktur sosial. Sehingga selain membantu membentuk mahasiswa yang prestatif dan potensial, organisasi juga ikut berperan menjadi alat komunikasi antara mahasiswa dan wacana kekinian masyarakat.

Sayang sekali bahwa wacana “kualitas” masih saja dibarengkan dengan “prestatif” sebagai rival. Dan sebaliknya, yaitu akademis yang masih begitu saja menjadi tolak ukur kualitas keilmuan mahasiswa atau kaum pelajar sementara ini. Dari analisis sederhana inilah kiranya lahir sebuah pertanyaan kritis yang berkait dengan epistemologi organisasi-organisasi Masisir yang merupakan organisasi ke-mahasiswa-an. Dimanakah posisi serta peran organisasi-organisasi sebenarnya?

Program akademis yang disematkan pada agenda ‘Lokakarya bulan April’ mendatang bukan semata rencana solutif yang harus diterima begitu saja. Namun, demi eksistensi organisasi yang menjembatani mahasiswa dengan masyarakat agenda tersebut harus diapresiasi secara kritis.

Ironis, bahwa program-program organisasi Masisir masih berorientasikan pada sukses periodik demi kontinuitas organisasi itu sendiri. Hal ini juga sangat mungkin berujung pada harapan ekonomis yang lahir dari asumsi negatif-realistis; jabatan struktural menjanjikan sebuah lahan bisnis. Maraknya program BimBel menjelang ujian kampus-jika kita telaah secara kritis- merupakan sebuah pengakuan umum akan lemahnya fungsional organisasi sebagai wadah mahasiswa. Kesadaran ber’oposisi’ yang lahir dari respon adaptatif atas sistem pendidikan al-Azhar sudah semestinya dimiliki dan terimplementasikan dalam wujud nyata program. Sikap moderat sudah selayaknya dimiliki sehingga organisasi benar sebuah jembatan plural yang peduli akademis tanpa meng’anak tiri’kan kualitas intelektual anggota (Masisir).

Kritik-apologetis yang dilontarkan dua kubu dikontomis Masisir, muqorroris sentries dan aktivis habis, telah memunculkan benih kontra-asumsif yang mungkin digelayuti sikap egoisme masing-masing keduanya.Sangat disayangkan bahwa realita ini tidak ditanggapi oleh organisasi-organisasi Masisir sehingga berakibat terhadap stagnansi- kalau enggan disebut merosot- gerak laju intelektualitas Masisir.

Agenda lokakarya bulan April mendatang, yang di-isu-kan bernada akademis menjadikan sebuah tantangan tersendiri bagi eksistensi organisasi-organisasi otonom Masisir. Peran signifikan, sebagai penghubung antara mahasiswa sekaligus representasi entitas masyarakat yang melekat pada sebuah organisasi, sangat mungkin terpangkas semangat akademis-sentris. Muncul-kembangnya profil-profil intelektual-tradisional adalah sebuah keniscayaan yang memicu pada discomunication antara kaum intelektual dengan masyarakat. Sehingga gairah integralitas yang telah dicontohkan para cendekiawan klasik atau pun kontemporer akan terkikis oleh ketidaksanggupan adaptasi mereka kemudian. Adalah Antonio Gramci, seorang intelektualis prancis, yang dengan semangat modernisme telah mematok ‘proposional dan profesionalitas’ sebagai syarat terbentuknya kaum intelektual organik. Segolongan intelektual yang memiliki integralitas tinggi dan mampu berperan aktiv di tengah tumbuh kembangnya masyarakat.

Dalam dinamika kekinian, haruskah kita terus terkukung dalam angan mistisisme dan atsar mitologis yang tidak pernah melahirkan semangat intelektual progresif? Atau, Masisir pada masa mendatang akan menjadi segolongan kaum konservatif -dalam ferm kekinian- yang senantiasa memberi sekat antara wacana dan konteks kemasyarakatan?


0 Comments:

Post a Comment

<< Home